Prolog
Klaten, 5
Juni 2009
Waktu menunjukkan pukul 7 pagi, matahari yang mulai meninggi
seakan siap mengawal momen yang tak akan terlupakan dalam hidupku ini. Yup,
hari ini adalah hari kelulusanku. Kelulusan, sebuah pertanda akhir dan awal
suatu fase. Suara mesin mulai hidup, pertanda ibu sudah siap mengantarku dalam
perjalanan terakhir dalam fase awal ini.
“Ayoo, sudah siap belum?” Suara lengkingan yang khas
terdengar, sebuah kalimat yang memaksaku berhenti melamun.
“Sudah kok..” Sahut ku.
Dalam keheningan dalam perjalanan selama 20 menit. Aku hanya
memutar memori rutinitas yang ku jalani selama bertahun-tahun. Namun pada hari
itu, setiap sudut jalan seakan mengatakan selamat tinggal kepadaku. Yang
mengakibatkan ada rasa segan untuk mengambil rute baru dalam perjalanan
selanjutnya. Sebuah rute yang asing dan belum ramah padaku.
Tibalah di gerbang sekolah, sebuah batas yang memisahkan
hubungan orang tua dan anaknya. Pada hari itu, gerbang sekolah sedang senang
hati sehingga mempersilakan orang tua untuk masuk ke wilayahnya. Ya, khusus
pada hari itu sekali seumur hidup.
Di halaman sekolah, aku melihat wajah-wajah yang sudah tidak
asing lagi dengan tatapannya yang khas masing-masing. Hari ini, semua wajah
tersebut terlihat kompak menunjukkan rasa bahagianya. Namun di satu sudut
pandang, ada sebuah tatapan tajam yang tidak berubah. Tatapan tersebut perlahan
mulai mendekat ke arahku hingga sebuah senyuman terlihat jelas di bawah tatapan
itu.
“Pagiii…” Sapanya, kemudian segera dia berlari menjauh untuk
bersembunyi.
“ Hm… pada hari terakhir ini aku juga gagal membalas ucapannya
huh?” pikirku sambil tersenyum sedikit kecewa.
Sebuah pengumuman mulai
terdengar, pengumuman yang berisi bahwa acara akan segera dimulai. Satu persatu
bangku merah yang semula kosong. Kini perlahan mulai terisi merata. Yang
menandakan bahwa mereka siap menjalani acara ini.
“Reza Aldiano…” undang kepala sekolah, dari samping panggung
sambil mengisyaratkan tangan agar aku segera kesana.
“Selamat ya.” Tambah kepala sekolah seketika aku sampai di
hadapannya.
Dalam kondisi bingung, aku pun berjalan kembali untuk mencari
kursi yang masih kosong. Saat duduk pun, pikiran ini masih menduga-duga apakah
hal tersebut benar. Hati ini pun setuju dengan perasaan belum siapnya. Sampailah
pada suatu momen.
“Selamat kepada Reza Aldiano yang mendapatkan nilai tertinggi
dalam ujian kelulusan tahun ini” Ucap kepala sekolah dari atas panggung
Terasa begitu banyak dorongan tangan dari orang di sekitarku,
memaksa tubuh yang belum siap ini untuk maju menghadapi kenyataan tersebut.
Dari atas panggung, Nampak terlihat jelas semua wajah orang. Hingga akhirnya
aku menemukan wajah yang aku ingin lihat. Namun, wajah tersebut tidak tersenyum
melainkan sedih menatapku.
“Apakah seharusnya aku pantas berdiri disini” pikirku sambil
merasa bersalah setelah merampas senyumnya karena telah mengambil posisi
dirinya yang seharusnya berada di atas panggung.
Setelah menerima penghargaan dari kepala sekolah, aku pun
kembali duduk namun dengan perasaan yang berbeda. Perasaan yang berharap agar
acara ini dapat segera berakhir sehingga aku dapat segera menemuinya. Rasanya
ada banyak sekali yang ingin kubicarakan dengannya.
“Semoga apa yang telah kalian pelajari selama ini dapat
menuntun kalian meraih masa depan yang
mampu membanggakan orangtua, agama, bangsa dan negara ini.….” Sebuah
kalimat terakhir kepala sekolah, yang kemudian diikuti oleh suara tepuk tangan
semua orang. Suara tepuk tangan yang memiliki suatu tanda yang berbeda arti
bagiku. Pertanda aku sudah bisa mencarinya.
Dalam kerumunan orang, aku mencoba mencari seseorang.
Seseorang yang mengapa terasa sangat berarti di momen-momen terakhir ini,
padahal sebelumnya biasa saja. Namun pencarian tersebut sia-sia, aku
mendapatkan info dari salah satu temannya bahwa dia telah pulang terlebih
dahulu.
“Tadi dia menangis setelah membaca sms di hpnya, kemudian
ibunya menghampirinya dan segera mengajaknya pulang” begitulah katanya, sebuah
informasi yang dapat menyesakkan kegembiraan ini.
Padahal aku ingin berkata “akhirnya aku bisa mengalahkanmu.”
Namun bukan hal tersebut yang membuatku kecewa. Aku belum sempat menanyakan
kemana dia akan melanjutkan sekolahnya maupun kontaknya yang dapat aku hubungi.
Penyesalan… ya penyesalan yang datang setelah rasa senang terasa begitu
menyakitkan huh??? Sebuah perpisahan yang tak terduga mengakhiri momen spesial
ini.
Komentar
Posting Komentar